Selasa, 18 Oktober 2011
kolor ijo vs nurdin halid
warning!!
jangan berharap banyak dengan judul dan isi.bila tidak berkenan dipersilahkan protes, kirim surat aja langsung ke pimpinan DPR klo mau,terima kasih.
Teater sebagai hiburan. Aspek itu tentu saja ada. Mungkin seperti serial Opera Van Java atau sinetron yang memang menghibur. Sebagai produk entertainment serenyah kacang goreng. Yang matang dan siap saji. Tak masalah. Lumayan untuk membuat tertawa. Tapi mari sejenak beranjak dari sudut pandang yang itu.
jangan berharap banyak dengan judul dan isi.bila tidak berkenan dipersilahkan protes, kirim surat aja langsung ke pimpinan DPR klo mau,terima kasih.
Teater sebagai hiburan. Aspek itu tentu saja ada. Mungkin seperti serial Opera Van Java atau sinetron yang memang menghibur. Sebagai produk entertainment serenyah kacang goreng. Yang matang dan siap saji. Tak masalah. Lumayan untuk membuat tertawa. Tapi mari sejenak beranjak dari sudut pandang yang itu.

Teman saya seorang actor muda potensial wilayah jrakah bernama Viky yang juga personil Roda Gila dan Kelap-Kelip Bersaudara beranggapan bahwa teater adalah sebuah ketegangan. Dan untuk yang satu ini saya setuju. Sebagai medium untuk menggali kemungkinan-kemungkinan. Menafsir ulang, bila mungkin, dengan tafsiran-tafsiran baru yanga tak kolot. Sebuah proses rekonstruksi. Sebagai dunia alternatif yang tak juga menjadi sebuah seni yang populis atau juga terjebak dalam eksklusifisme kesenian. Katankanlah mungkin sebuah poros tengah, dan agaknya pada ketegangan itulah teater menemukan bentuknya. Cara berpikir seperti itu mungkin agak terkesan bahwa teater butuh sebuah militansi. Totalitas dimana seolah teater adalah poros penting pembangun masyarakat. banyak yang percaya dengan hal seperi itu. Tapi tidak dengan teman saya itu. Kilahnya bahwa dia hanya sekedar bersenang-senang dalam berteater dengan sedikit beban di pundak. Pada titik dimana saya kecewa dengan iklim dan ortodoksi itu, saya lagi-lagi setuju.
Saya teringat dalam sebuah diskusi setelah pementasan yang masih saya ingat dibawakan oleh sebuah grup yang setidaknya di semarang mempunyai nama “besar” dan ketika seorang kawan yang lain lagi berkomentar “saya datang dan cukup terhibur”. Saya tambahkan sendiri kalimat itu dalam benak saya “saya merasa terhibur, sayang tak lebih dari itu…”. Peserta diskusi sibuk bertepuk tangan. Sang sutradara mungkin dengan pongah tersenyum sambil menepu dada, saya tak tahu. Lalu si sutradara berorasi dengan lantang tentang tema pementasanya; nilai-nilai moral dan semacamnya. Para peserta diskusi makin riuh dalam tepuk tangan, Meriah dalam suasana demonstrasi. Dan memang pementasan yang di semarang tumben penuh sesak dengan penonton itu cukup menghibur dengan humor-humor slapstick—yang sekarang entah sering kali menjadi tolak ukur kesuksesan pementasan—Penonton terpingkal-pingkal. Lalu pelantun hip-hop menyeruak panggung di masa transisi sementara kru sibuk memindah property. Berulang-ulang, mungkin 7-8 kali dalam satu jam pertunjukan. Penyanyi mengakhiri lagunya. Dan penonton kembali sibuk bertepuk tangan, beberapa sembari bersiul. Dua buah layar besar di panggung dengan seperangkat multimedia, berselang-seling antara matahari pagi yang smiley dan pilar-pilar istana bak istana di roma sebagai latar sesuai tuntutan cerita, rumah-rumah berbentuk jamur dalam posisi menjemukan yang simetris. Penonton lagi-lagi terperangah. Dialognya cerewet dan tak berisi. Tentang cerita lama; mahasiswa yang terjerumus seks bebas dan raja megalomaniak yang juga maniak daun muda plus kekuasaan. Seorang penonton bergaya emo melongo dalam pesona, agaknya terpikat. Teman sebelah saya sibuk menyakinkan saya bahwa pertunjukan kali ini adalah sebuah progresi dalam teater yang ternyata diamini oleh teman-teman saya yang lain; teater kontemporer yang progresif katanya. Saya tak tahu artinya.
Dan malam itu, sebuah diskusi menyematkannya sebagai sebuah pertunjukan teater yang sukses besar luar dalam, lahir dan batin, setidaknya di semarang. Tapi entahlah, saya lebih seperti menonton kethoprak dalam balutan modern, secara subjektif saya anggap terlalu banyak ruang kosong yang terbaca. Perunjukan itu bagus tapi bukan selera saya, agaknya seperti itu. dan saya lebih suka menonton kethoprak tradisional, sekalian nguri-uri budaya saya sendiri. saya tidak terhibur malam itu. Rp5000 yang mahal menguap kecewa, mubadzir….hoaah….
Sebuah kisah yang lain lagi. rahwana stress menahan konak terhadap korban penculikanya, sinta, karena libidonya ditolak mentah-mentah. Rahwana heran, apa mungkin rama begitu perkasa di ranjang sampai membuat sinta tahan goda?
Dilematis memang, Sudah terlanjur menculik mengapa sekalian tak diperkosa hmmm… Bukan karena rahwana bodoh, tapi tahu bahwa takdir sudah digariskan. dalam wayang, dewa memang sosok yang bisa alpa, seperti manusia juga. Apa dewa memang bermain dadu? Bagaimana mungkin ada ending sinta yang berkorban demi kesucianya bila sinta sudah ia jamah? Pada akhirnya rahwana memang memilih untuk kalah. Rahwana tak khatam menjadi sosok jahat. Raksasa durjana yang mengorbankan semuanya menunggu kerelaan sinta meyemai cintanya. sadar hanya menjadi tokoh penggenap cerita hidup rama, rahwana dongkol. bedebah! Rahwana mengumpati para dewa….lampu meredup, kelir menutup.
Diwaktu lain waktu saya menonton teater tentang epos mahabarata itu, tak persis seperti diatas. lakonya sama seperti yang diceritakan orang tua kita dulu sebagai pengantar tidur; rahwana yang maha jahat dan rama yang baik hati dan mungkin beriman, entah kepada siapa. Rama ditampilkan dengan sosok yang seperti itu. Yang menarik adalah konsep pertunjukan tersebut memulung, dalam bahasa halusnya mengadopsi konsep Opera Van Java persis lengkap dengan intervensi dalang terhadap wayangnya dan humor sebagai senjata utama. Entah itu menarik atau mengenaskan? Merujuk pendapat saya bahwa teater adalah sebuah alternatif, Silahkan menilai sendiri.
Kaitanya adalah bila dua lakon yang dimainkan dua kelompok teater yang cukup “disegani” di semarang itu sebagai representasi, tentu memicu pertanyaan; apa teater hanya sekedar mencaci rahwana sebagai maniak seks penculik sinta? penyadaran akan nilai-nilai usang? Tidakkah mereka ingin bermain dalam sebuah perspektif baru yang sesuai dengan dinamika pemikiran dan masyarakat kontemporer intelektual dimana sebuah hal kadang tak bisa ditakar secara hitam dan putih. Why so serious? Ada wilayah abu-abu yang terlewatkan. Wilayah dialektik yang sering diklaim sebagai wilayah kaum intelektual—entah mengapa, saya beranggapan bahwa pelaku teater adalah orang-orang cerdas yang kebanyakan terdidik—. Wilayah yang sesak dengan kemungkinan dan multi-tafsir. Sebagaimana viky—yang teman saya itu— berpendapat, agaknya teater adalah salah satu medium pencarian itu; sebagai arena pemikiran yang berusaha keluar dari rutinitas monoton yang menjenuhkan. Memungkinkan pada pertemuan kemungkinan-kemungkinan.
Yang mengherankan adalah karena itu bukan yang pertama kali. Merujuk pada beberapa pementasan teater terakhir di semarang seperti beranjak ke masa lampau yang tak pernah saya kunjungi ketika teater “modern” Indonesia yang sesak dengan kritik dan patologi sosial yang menahun lahir. Dengan moralitas yang sama. Tentu saja karena naskah yang dimainkan adalah naskah-naskah lama atau yang kurang lebih sama yang berteriak lantang tentang yang “itu-itu juga”, Mungkin agak-agak berbau “kiri”. Tak masalah. Kita memang kurang produktif dalam memproduksi naskah. Lagipula tema-tema seperti itu memang populer di pada sebuah Negara dunia ketiga. Keadaan dari dulu memang belum berubah; kita masih tertindas. Tapi entahlah, komunis sepertinya mati karena uzur.
Tetapi ketika hanya tema-tema itu melulu yang ditawarkan, entah kenapa belum ada juga yang jengah. Mungkin menunggu sampai keadaan Indonesia berubah. Mungkin ada kecenderungan untuk sekedar nostalgia. Bereuforia dalam kebesaran masa lalu (meskipun saya kurang tahu pada kejayaan teater di semarang pada masa lampau). Bahkan dalam konteks teater realis, Sebagian besar mementaskan naskah-naskah lama yang sayangnya tanpa sebuah pemahaman baru. Tanpa pemaknaan yang katakanlah lebih “cerdas”. Kebanyakan naskah terlalu cerewet—dengan asumsi bahwa penonton teater bukan sekumpulan orang-orang bodoh menonton mencari pencerahan. Kejelian untuk membaca peta penonton dibutuhkan disini (bedakan penonton semisal antara di desa dan gedung pertunjukan yang biasanya merupakan pusat aktifitas kesenian, tentu eksekusinya akan lain).
Tentu bukan berarti naskahnya yang tidak bermutu, yang dipertanyakan adalah kemampuan untuk mengeksekusinya. Pemahaman tanpa melihat dinamika perkembangan nilai dan pola masyarakat. Sebagian besar terjebak pada sebuah proses teater yang sibuk memperdebatkan bagaimana olah vokal dan dramaturgi. Mending kalau bagus, masih banyak dengan kualitas actor dan unsur intrinsik yang ala kadarnya, cenderung compang-camping. Sebagian lagi resah dengan minimnya fasilitas panggung dan hal-hal semacam itu. memang hal tersebut mesti tersyarat. Tapi terkadang wilayah ide terabaikan. Seolah teater hanya melulu teknis yang tak mentranformasi ide. Yang membuka kemungkinan baru, Tafsir-tafsir yang mungkin. Teater yang terlalu teknis sama juga tak mempunyai ruh. Sebuah dinamika yang membuat teater di semarang berjalan di tempat dalam wacana dan estetika yang tak beranjak ke mana-mana. Entahlah, zaman seharusnya bergerak maju. Teater seperti dikebiri, ruang gerak dibatasi dalam nilai yang baku dan kaku.
Stagnasi yang membosankan. Yang itu-itu juga. Tidakkah itu menjenuhkan? Seperti merasa pada kondisi yang mapan—yang ditakar dari beberapa tahun terakhir selalu monoton, seperti nyanyi “lagu cinta melulu”. Tidak ada pergulatan ide; mengajak pada proses berpikir untuk menafsir ulang, seringkali teater hanya sesak dengan pesan moral yang terkesan menggurui. Stabilitas memang kadang membosankan. Tak ada gugatan dan memang jarang ada yang menggugat. Semuanya seragam. Tidak terdapat pihak yang saling ngotot dengan keyakinan. Suasana yang adem ayem, homogenitas yang menjemukan. Merasa diri “sudah merasa cukup”. Serasa tak terdapat ketegangan yang memicu inisiatif berinovasi. membuka kemungkinan dan perspektif yang segar. Teater “pendidikan” semacam ini memang laku keras di semarang. Entah karena itu pilihan atau mungkin tak tahu ada pilihan lain. Publik disuguhi dengan menu yang matang dan siap pakai. Terlalu baku dan tak bermain-main dengan realitas. Bukankah teater pada hakikatnya adalah semacam permainan juga? Bukan melulu memindah realitas ke atas panggung. Yang melulu tentang moral ibarat dakwah. Sesekali mungkin tak mengapa. Tapi kalau semuanya sama seperti itu, pastinya ada yang janggal. Setidaknya bagi saya.
Mungkin ada penonton yang kangen pada “peran” teater yang lain karena selalu disuguhi menu yang sama. Kebanyakan disuguhi daging, akhirnya saya kangen juga dengan tempe. Sebagai sebuah seni yang tak harus selalu melulu dibebani dengan tanggung jawab moral dan sosial. Sebagai medium tranformasi ide. Teater yang tak selalu serenyah kacang goreng. Teater sebagai bagian dari dialektika pemikiran yang tentu saja didalamnya otomatis berimbas pada nilai estetik juga.
Pemikiran berubah, nilai-nilai berubah. Teater seyogyanya bisa berdamai dengan jaman. Bukan dengan memelihara kekolotan. Ortodoksi yang biasanya berbahaya. Teater yang menggugah tafsir dan kemungkinan? Entahlah, bila mungkin itu ekspektasi yang terlalu muluk, saya kurang tahu.
Seharusnya ada yang tidak beres ketika teater di semarang ada pada keadaan “ hilang gairah untuk mencari”. Tapi hal itu juga merupakan isyarat lain. Adanya simbiosis antara penonton dan penyaji yang telah tertata mapan, yang berarti juga tak mengisyaratkan adanya perubahan. Tak merasa perlu belajar. Yang telah merasa mampu menghibur dan dihibur. Teater hanya sebagai hiburan?okelah. Tapi tentu tak beda jauh dengan budaya populis lain, sinetron misalnya. Dan saya tak perlu membayar tiket untuk menonton sinetron.
Kemapanan yang membuat tumpul. Tapi seharusnya teater tidak dimaksudkan sebagai sebuah hasil. Kata kuncinya disini adalah proses. Yang liat dalam bertranformasi. Yang tidak resah pada pertemuan dengan kemungkinan baru. Bukan mandeg dalam kemapanan. Isyarat bahwa semarang—mengutip istilah adin hysteria—sebagai “kuburan seni”. Ketika teater bukan sebagai ihktiar, sebagai sebuah proses. Yang mandeg dan membunuh kreatifitas dan akhirnya menyunat motivasi. Setidaknya bagi yang sadar kondisi.
Semarang yang terisolasi. sebagai salah satu kota besar, mungkin Jauh tertinggal dengan di kota lain. di sini, kota saya maksudkan sebagai sebuah rezim, sebagai identitas. Dalam sebuah peluncuran buku afrizal malna di semarang kemarin, kalau tidak salah berjudul “perjalanan teater kedua”, saya kurang ingat, dari diskusi saya tahu tak terdapat satu sosok teater di semarang yang mungkin “layak” untuk dia tulis dalam buku yang belum saya baca dan tak saya ketahui judulnya. 90 ribu cukup mahal bagi saya. Akan saya ralat ketika nanti sudah saya baca.
Mungkin sebab itu atau karena yang lain, saya juga kurang tahu. Tapi indikasinya adalah semarang luput dari peta teater nasional versi afrizal. semarang tak masuk ensiklopedi. Bukan bermaksud mendewakan, tapi setidaknya bisa menjadi salah satu bahan perbandingan bahwa teater di semarang tak mempunyai heterogenitas dalam ekspresi nilai estetik. Ekspektasi yang tak berlebihan memang ketika Afrizal memandang dari kacamata “teater kedua” yang artinya saya juga kurang paham, sedang semarang masih belum rampung dan anehnya masih merasa mapan dengan katakanlah “ketertinggalan”. Tak dipungkiri, letak geografis adalah sebuah identitas. Memperbandingkan kondisi teater di semarang dengan konsep estetika kontemporer yang banyak berkembang di daerah kantong-kantong seni lainya adalah seperti memandang ke awang-awang. jauh dan berjarak. Bukan berarti itu salah, tapi bagaimana akan ada perubahan ketika teater di semarang berlari di tempat seperti itu. Mungkin permasalahanya adalah ini; semarang telah merasa mapan dan percaya diri. Yang merasa telah menemukan. keengganan untuk belajar karena merasa mampu. teater telah direduksi sebagai sebuah hasil, bukan sebagai proses. Mungkin itu sebabnya teater semarang stagnan, monoton dari jaman baheula. Tak ada medan perang dimana ide saling dibenturkan yang memungkinkan untuk bertemu dengan kesalahan. Bukan bermaksud menghakimi, tapi mungkin saja ada yang berpendapat seperti itu. saya tekankan kata “mungkin” di sini.
Lalu saya kembali teringat perkataan teman saya Viky—yang nama profile FBnya zuper piki—yang pernah mengaplikasikan ilmu keaktoranya sekaligus memperdalam bahasa inggrisnya pada level tertinggi nun jauh di Kediri sana.
“teater sebagai proses untuk mencari jati diri. Dunia ini panggung sandiwara kawan galih. Dalam teater kita menjumpai realitas panggung. Setidaknya memungkinkan untuk bermain dengan realitas yang sebenarnya. Mari bersenang-senang. By the way, kebenaran adalah apa yang kau anggap benar” begitu katanya secara menyakinkan, entah mengutip dari mana. Dan memang kawan saya itu bukan manusia teater yang militan, hanya sekedar bersenang-senang. Tapi entahlah, Sulit bagi saya menangkap maksud perkataanya.
Saya masih heran pada kondisi ini sebagaima saya juga heran mangapa menuliskan hal bodoh dan tak penting semacam ini. mungkin hanya sekedar menghabiskan waktu luang. Atau mungkin juga karena sebagaimana penonton bola, saya sebagai penonton yang membayar dengan segala kesubyetifitasanya tentu sah-sah saja menuntut ketika kecewa. Rp 5000 adalah nominal yang cukup banyak bagi saya. Entah siapa yang harus bertanggung jawab dengan iklim yang seperti ini. memang sudah sepatutnya Nurdin Halid mundur. Salam olah raga.
Tulisan ini dibuat sebelum Nurdin Halid mundur.
tim suksesi "NURDIN FOR 2014"
tim suksesi "NURDIN FOR 2014"
Wajah Alienasi Dunia Ketiga
Pada wajah itu begitu bersahaja. Sebuah senyum simpul yang sederhana. salah satu tanganya memegang belakang kepala sebagaimana anak kecil tersipu, utuh dalam ekspresi sebuah lukisan bercorak realistic fotografis. Sementara tampak belakang dua orang anak kecil lain yang saling berbisik, hanya saja pada objek ini dipaparkan dalam bentuk yang lain, seperti sebuah mozaik pada langit-langit gereja yang tercoret pada kanvas. Lukisan tersebut berjudul dialog. Dari komposisi tersebut, Terlihat memang hansen Thiam Sun, pelukis kelahiran toho, kalimantan barat 49 tahun yang lalu ini bermain-main dalam kerangka lukisan yang tidak sebagaimana lazimnya, objek sentral lukisan tersebut bersumbu pada dua sosok mozaik tersebut tentu saja ketika ditafsir secara sederhana- bukan pada sebuah figur utuh yang begitu kuat dan mendominasi setidaknya secara visual dalam lukisan tersebut. Terdapat value atau bobot yang sama atas figur yang dilukis dari tekhnik yang berbeda-beda tersebut. Atau mungkin juga lukisan tersebut menawarkan suatu bentuk
“dialog” yang lain, suatu bentuk dialog pada sebuah alienasi, sebuah anak kandung dari modernitas, yang mau tidak mau berimbas pada pergeseran nilai sosial pada masyarakat kita. Setidaknya mungkin secara sederhana tafsir itulah yang tertangkap, akan tetapi bila mengingat konteks seni rupa sekarang ini, tentu saja akan tidak menjadi sesederhana itu. Tafsir-tafsir lain masih begitu terbuka, pemaknanan yang dinamis tentu saja diperlukan dalam menilai sebuah karya seni dengan model seperti ini, tergantung dari kontek dan kebutuhan saja kiranya. Setidaknya dalam kontek seni rupa kontemporer sekarang ini, objek gambar merupakan sebuah teks yang menawarkan begitu banyak pembacaan akan suatu makna yang terkandung dalam lukisan itu sendiri. Dengan memanfaatkan distingsi warna-warna yang kontras, nilai yang ditawarkan dari lukisan ini bukan melulu sebuah wacana yang terkadang asal tempel dalam karya, setidaknya didalamnya masih terbaca suatu pretensi estetik, konsep estetika yang “sederhana”, sesuatu yang kadang menjadi pilihan nomor kesekian atau bahkan terkesan diacuhkankan dalam kontek nilai estetis seni rupa kontemporer sekarang ini.
“dialog” yang lain, suatu bentuk dialog pada sebuah alienasi, sebuah anak kandung dari modernitas, yang mau tidak mau berimbas pada pergeseran nilai sosial pada masyarakat kita. Setidaknya mungkin secara sederhana tafsir itulah yang tertangkap, akan tetapi bila mengingat konteks seni rupa sekarang ini, tentu saja akan tidak menjadi sesederhana itu. Tafsir-tafsir lain masih begitu terbuka, pemaknanan yang dinamis tentu saja diperlukan dalam menilai sebuah karya seni dengan model seperti ini, tergantung dari kontek dan kebutuhan saja kiranya. Setidaknya dalam kontek seni rupa kontemporer sekarang ini, objek gambar merupakan sebuah teks yang menawarkan begitu banyak pembacaan akan suatu makna yang terkandung dalam lukisan itu sendiri. Dengan memanfaatkan distingsi warna-warna yang kontras, nilai yang ditawarkan dari lukisan ini bukan melulu sebuah wacana yang terkadang asal tempel dalam karya, setidaknya didalamnya masih terbaca suatu pretensi estetik, konsep estetika yang “sederhana”, sesuatu yang kadang menjadi pilihan nomor kesekian atau bahkan terkesan diacuhkankan dalam kontek nilai estetis seni rupa kontemporer sekarang ini.
La art pour art
Hampir sebagian besar lukisan Hansen pada pameran bertajuk in the crowd yang berlangsung di H2 Art Gallery semarang, 30 Oktober sampai 11 September 2009 ini mempunyai motif dan model yang sama. Mengusung wacana-wacana sosial pada masyarakat pada sebuah era dimana ada anggapan bahwa karya-karya perupa kita cenderung “eksklusif”,berada dalam sebuah menara gading yang mewah, tentu saja bila dikaitkan pada keadaan sosial kita sekarang ini, yang kebanyakan memang mengangkat tema yang begitu asing pada telinga masyarakat kita. Dalam kali ini tentang alienasi yang mungkin bisa dikatakan sebagai penyakit yang terlalu modern merujuk pada pola sistem dan situasi sosial pada masyarakat kita, Alienasi pada sebuah negara dunia ketiga. Mungkin terdengar agak janggal di telinga kita, tentang sebuah “penyakit modern” yang belum seharusnya menjangkit pada masyarakat kita yang masih terlalu sibuk dengan tuntutan perut. Kemungkinan bahwa terdapat kesenjangan yang begitu lebar pada para perupa kita dengan mayoritas masyarakat kita dalam hal pola pikir dan penawaran wacana, sehingga terkadang anggapan “seni untuk seni” masih sulit untuk dilepaskan melihat masih begitu minimnya pengaruh dan implikasi dari suatu karya seni tersebut kepada masyarakat. Perihal pilihan para peseni rupa untuk berada dijalur tertentu memang sesuatu yang tak bisa disalahkan dan sepenuhnya menjadi hak mereka menimbang bahwa mereka tak menanggung beban moral untuk bertanggung jawab membawa perubahan dalam masyarakat. Tapi banyak dari suatu karya seni rupa yang banyak berakhir di galeri ataupun menjadi koleksi eksklusif para kolektor memang kadang menjadi urusan lain.
Dinamika keramaian
Lukisan-lukisan tersebut terkesan menampilkan sebuah alienasi, keterasingan individu-individu di dalam sebuah Crowd-keramaian manusia-manusia- dimana dalam keramaian itupun, keberadaan sesosok individu tentu saja merupakan unsur yang tak bisa dikesampingkan. Individu itu sendiri adalah sosok tunggal yang membentuk sebuah kerumunan, yang biasanya kemudian terkesan dikesampingkan ketika terlebur dalam suatu massa –keramaian-. lewat komposisi dari lukisan-lukisanya, penegasan perihal alienasi atau keterasingan tesebut agaknya terbaca dari barbagai teknik lukis yang terkomposisi dalam suatu kontras antara berbagai objek dalam lukisanya. Kontras warna antara sebuah kontur mozaik dengan foto realistik setidaknya merupakan pencerminan dari hal tersebut. Hal itu juga mungkin merupakan upaya hansen sebagai penegasan terhadap dimensi dan lapisan-lapisan ruang yang berbeda dengan penggunaan warna-warna yang tajam sebagai latar pada lukisan-lukisanya. Juga Pemilihanya pada anak sebagai figur pada banyak lukisanya memberikan warna yang lain, bila dikaitkan dengan tema alienasi pada karyanya, Bagaimana ketidaksadaran sosial tersebut bahkan tidak hanya didominasi orang dewasa saja, mungkin saja persepsi tersebut muncul dari subjektifitas hansen sendiri atas observasi pada kondisi sosial di sekitarnya, tapi membicarakan sebuah keterasingan pada dunia anak-anak adalah suatu hal yang baru dan mengejutkan. Terlepas dari hal diatas, upaya hansen untuk menciptakan sebuah dinamika keramaian dalam karyanya lewat figur-figur yang berdesak-desakan dalam sebidang kanvas terutama dengan berbagai tehnik lukis yang digunakanya akan tidak saja membangun suatu dinamika kerumunan secara verbal, tetapi akan mengarahkan persepsi kita pada suatu makna-makna simbolis yang memang menjadi nilai penting dalam karyanya. Dalam sebuah lukisan berjudul guru dan murid, tampak bagaimana hansen begitu inten dengan masalah modernitas ketika hal tersebut berbenturan dengan identitas budaya dan sosial pada masyarakat kita. Figur guru tersebut yang tercoret dalam fotografis lengkap dengan hiasan bunga di kepala membelah kanvas menjadi dua dunia yang berbeda. ketika tampak guru tersebut sedang mengajarkan anak-anak sebuah pola tari tradisi pada sebuah latar oranye yang mencolok mata, sementara pada bidang di sebelahnya segerombol anak kecil berpose dengan tiga jari khas ala rocker dengan background kuning muda. Pola-pola seperti itu juga muncul; dalam karyanya yang lain seperti relaks, fur alim, ikan besar dan fashion show. Sementara pada karyanya yang lain, dia tampak begitu akrab dengan tema keseharian dan kesederhaaan. Simaklah dari judul-judul semacam 17 08 09 yang memvisualisasikan lomba makan kerupuk seperti pada sebuah selebrasi hari kemerdekaan, atau lukisan berjudul bermain yang didalamnya tampak seorang anak kecil yang bermain di hadapan figure-figur mozaik dan lukisan-lukisan lainya seperti andai aku seorang superstar, berbaris, berbagi dan lukisan lain dengan konsep dan tema seperti itu. Akan tetapi yang perlu dicermati adalah konsep kesederhaan menurut Hansen tentu menawarkan sesuatu yang penuh komplektivitas merunut pada proses kreatifnya yang sering berpameran di luar negeri, beberapa publikasi internasional diantaranya di New York Art Magazine serta tercatat sebagai satu-satunya perupa dari Indonesia yang mendapat undangan dalam Venice Biennal bulain juni lalu yang katanya merupakann parameter estetis perupa dari seluruh penjuru dunia.
Walhasil masyarakat seni rupa semarang kembali menjadi penonton yang diragukan kesetianya ketika para perupa dari luar semarang unjuk gigi. Mungkin saja dengan seringnya semarang menjadi tempat berpameran perupa luar akhir-akhir ini dapat menjadi cambuk bagi perupa semarang untuk lebih dapat menunjukkan taringnya sehingga iklim berkeseni-rupaan di semarang menjadi lebih dinamis dan mengakar. Dan memang bila mengingat kota semarang memang tidak mempunyai akar yang kuat dalam budaya yang dari dulu memang dikenal sebagai kota dagang dan industri, maka tentu saja sangat tidak diharapkan bahwa dalam hal seni rupa pun semarang hanya menjadi transit perdagangan, begitu?
Parodi Para Caleg
Caleg rupanya sosok yang menarik hati bukan hanya para pemilih, tapi juga bagi para seniman, termasuk pula Jemek Supardi yang mengisahkannya dalam pentas bertajuk Calegbrutussaurus
Jemek supardi, aktor senior dalam dunia pantomim tersebut berpentas tunggal dalam pergelaran bertajuk Calegbrotossaurus di Taman Budaya Yogyakarta Rabu (18\3). Sesuai judul yang disematkan pada pentas kali ini, tema yang diusung tentu saja tak jauh dari gawean politik nasional yang berlangsung sekarang ini, yaitu pemilu.
Koridor societet de militer dilejali dengan poster Jemek Supardi yang nyaleg dan slogan-slogan berbau politis. Di pintu masuk ruang pertunjukan, penonton wajib mencelupkan jari ke dalam tinta. Sekilas situasi mirip Pemilu. Penonton padat memenuhi tribun. Ketika Jemek muncul di sela-sela tribun penonton dengan kostum khas para caleg, setelan jas berpadu dengan peci hitam lengkap dengan sebingkai kacamata yang hitam pula. Diiringi tim suksesnya, Sang caleg membagi-bagikan amplop ke para penonton, bukan sebuah satire tentu saja, karena praktek money politic memang sudah mentradisi dan menjadi mekanisme yang sah dalam demokrasi kita, lho? Orasi-orasi bergema, mendendangkan nama Jemek sebagai orang suci sejenis gandhi atau bunda Teresa. Lagu pemilu Masih berkumandang dengan merdunya, mengiringi sang caleg yang sedang sibuk menebar pesona amplopnya.
TENTANG CALEGBRURUSSAURUS
Setelah hingar bingar di kerumunan penonton, sang caleg bergerak menuju panggung dan menemukan kegelisahanya, bilik kotak suara. Tiga kerangka kotak menempati pangung, dingin dan kaku. Jemek berolah, sepintas mengingatkan gaya Charlie Chaplin. Mengeksplorasi bilik suara tersebut dengan mimenya. Matanya curiga, mimiknya waspada, bolak-balik menyambangi bilik tersebut satu persatu. Ketika suara menjadi begitu berharga, maka ribuan rayu menghujam di telinga-telinga, mata-mata dan kantung-kantung kita. Dalam bilik suara, segala rayu dan janji dipertaruhkan. Bilik suara menjadi ruang yang panas sebenar-benarnya, menyangkut ukuran bilik tersebut tentu saja. Dan yang menjadikanya lebih pengap adalah karena disana penuh dengan intrik personal para pemilih maupun yang berkepentingan. Segala cara dilakukan demi suksesi di bilik suara. Rasa curiga meneror, kepercayaan menjadi sesuatu yang teramat mahal. Dalam Teror Bilik Suara, sebuah sesi pertama dari trilogi tersebut, bilik suara menjadi medan tempur, dimana selintas kerling mata dan sesungging senyum bisa menjadi berbahaya dan bisa dikategorikan sebagai tindakan subversif.
Calegbrutussaurus adalah sebuah trilogi tentang caleg, sosok yang begitu dipesonakan oleh suara. Sosok yang kadang-kadang menjelma menjadi suci, agung dan bijaksana. Dan banyak dari mereka terbuktikan menjadi sosok yang memang kadang-kadang menjadi brengsek. Mahluk jenis ini adalah jenis spesies yang mudah gelisah, yang wajib mengumbar janji, dan kerap kali harus dibungkus dengan sedikit pemanis demi suara-suara. Spesies yang ini terkadang harus akrab dengan curiga. Yang terkadang pula menangisi kekalahan dengan sedikit kegilaan seperti ditunjukkan Jemek dalam bagian ketiga trilogi tersebut, Teror Gambar Dalam Poster. Ketika modal ratusan juta tertukar poster-poster yang teronggok dalam kantong sampah, atau sekedar menjadi bungkus tempe goreng.
Sang caleg muncul ke dalam panggung. Jalanya gontai, wajahnya lesu, ekspresinya begitu kaku. Dilepaskanya menyisakan celana kolor. Dengan sinis Dipandanginya satu persatu poster yang memuat fotonya. Dan akhirnya memang ketahuan, spesies ini ternyata masih satu ordo dengan spesies homo sapien yang punya harga diri dan rasa malu. Dunia sang caleg tiba-tiba menjadi begitu rapuh ketika suara-suara tidak tertambat dalam jalanya. Diambilnya sebotol minuman keras, tentu saja dalam perspektif pantomim. Ditenggak sampai ke botol-botolnya. Marahnya berbaur dengan sesal dan malu. Sang caleg mengumpat dengan tubuhnya, melampiaskan kekesalan dengan kencing yang diguyurkan ke posternya sendiri.
Memang tak salah baginya untuk mengusung kebrengsekan para caleg pada pementasanya, termasuk duka para caleg ketika hamburan modal untuk kampanye menguap dan menertawakan kekalahan mereka dalam jenaka seperti dalam pentas Jemek kali ini. Hanya saja kadang-kadang kita terjebak pada situasi dimana kita kemudian terlalu antipati terhadap keberadaan caleg, adanya pesta demokrasi yang bernama pemilu untuk menopang kelangsungan demokrasi. Caleg, tentu saja memang sering menjadi kambing hitam dalam soal ini. Hanya karena banyak dari mereka yang memang brengsek, tapi tetap saja kita membutuhkan suatu sistem bernama pemilihan umum, dimana keberadaan spesies bernama caleg ini ternyata masih juga dibutuhkan kehadiran dan eksistensinya. Bahkan terkadang dirindukan janji-janjinya. Dan jemek telah membuktikan bahwa ternyata calegbrutussaurus ternyata adalah sejenis manusia juga.
TENTANG JEMEK SUPARDI
Jemek Supardi, sosok lelaki yang terlahir sekitar 52 tahun lalu ini memang secara konsisten menekuni dunia pantomim sebagai media yang digelutinya. Alkisah karena kemampuan menghafal naskahnya dalam ranah keteateran yang memang kendor, maka diapun banting setir ke pantomim yang dipahaminya sebagai suatu media lebih mudah karena ketiadaan dialog secara verbal. Dan memang di ranah inilah dia berkonsistensi. Sejak pementasan sketsa-sketsa Kecil di tahun 1979, dia memulai petualanganya sebagai pantomimer sampai saat ini yang kurang lebih telah mencakup puluhan karya.
Dalam umur yang terhitung sudah tidak muda lagi, kemampuan jemek dalam mengolah tubuh menjadi suatu media bahasa yang inspiratif merupakan kelebihanya. Bergulat dengan tubuh yang makin renta tentu saja bukan suatu hal yang mudah, terlebih dalam pantomim yang menggunakan tubuh sebagai pemakna.
Seni pertunjukan bisu ini merupakan seni pertunjukan yang telah mampu berdiri sendiri, sebagai salah satu media yang komunikatif dalam kontek seni pertunjukan. Sehingga para pantomimer terutama jemek telah diakui eksistensinya. Bukan hal mudah untuk konsisten selama puluhan tahun dalam dunia pantomim yang kerap dipinggirkan sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan bagi pria yang menurut kabar burung dikategorikan bengal ketika masa mudanya ini.
Dan Jemek supardi, yang mencalonkan diri dengan mengusung partai “Pantomim Jelas Bisu”, dengan slogan partai “Sudah teruji dan terbukti; Pantomim Tanpa Bicara Banyak Bekerja” memang sudah teruji dan terbukti.
Langganan:
Komentar (Atom)