Pada wajah itu begitu bersahaja. Sebuah senyum simpul yang sederhana. salah satu tanganya memegang belakang kepala sebagaimana anak kecil tersipu, utuh dalam ekspresi sebuah lukisan bercorak realistic fotografis. Sementara tampak belakang dua orang anak kecil lain yang saling berbisik, hanya saja pada objek ini dipaparkan dalam bentuk yang lain, seperti sebuah mozaik pada langit-langit gereja yang tercoret pada kanvas. Lukisan tersebut berjudul dialog. Dari komposisi tersebut, Terlihat memang hansen Thiam Sun, pelukis kelahiran toho, kalimantan barat 49 tahun yang lalu ini bermain-main dalam kerangka lukisan yang tidak sebagaimana lazimnya, objek sentral lukisan tersebut bersumbu pada dua sosok mozaik tersebut tentu saja ketika ditafsir secara sederhana- bukan pada sebuah figur utuh yang begitu kuat dan mendominasi setidaknya secara visual dalam lukisan tersebut. Terdapat value atau bobot yang sama atas figur yang dilukis dari tekhnik yang berbeda-beda tersebut. Atau mungkin juga lukisan tersebut menawarkan suatu bentuk
“dialog” yang lain, suatu bentuk dialog pada sebuah alienasi, sebuah anak kandung dari modernitas, yang mau tidak mau berimbas pada pergeseran nilai sosial pada masyarakat kita. Setidaknya mungkin secara sederhana tafsir itulah yang tertangkap, akan tetapi bila mengingat konteks seni rupa sekarang ini, tentu saja akan tidak menjadi sesederhana itu. Tafsir-tafsir lain masih begitu terbuka, pemaknanan yang dinamis tentu saja diperlukan dalam menilai sebuah karya seni dengan model seperti ini, tergantung dari kontek dan kebutuhan saja kiranya. Setidaknya dalam kontek seni rupa kontemporer sekarang ini, objek gambar merupakan sebuah teks yang menawarkan begitu banyak pembacaan akan suatu makna yang terkandung dalam lukisan itu sendiri. Dengan memanfaatkan distingsi warna-warna yang kontras, nilai yang ditawarkan dari lukisan ini bukan melulu sebuah wacana yang terkadang asal tempel dalam karya, setidaknya didalamnya masih terbaca suatu pretensi estetik, konsep estetika yang “sederhana”, sesuatu yang kadang menjadi pilihan nomor kesekian atau bahkan terkesan diacuhkankan dalam kontek nilai estetis seni rupa kontemporer sekarang ini.
“dialog” yang lain, suatu bentuk dialog pada sebuah alienasi, sebuah anak kandung dari modernitas, yang mau tidak mau berimbas pada pergeseran nilai sosial pada masyarakat kita. Setidaknya mungkin secara sederhana tafsir itulah yang tertangkap, akan tetapi bila mengingat konteks seni rupa sekarang ini, tentu saja akan tidak menjadi sesederhana itu. Tafsir-tafsir lain masih begitu terbuka, pemaknanan yang dinamis tentu saja diperlukan dalam menilai sebuah karya seni dengan model seperti ini, tergantung dari kontek dan kebutuhan saja kiranya. Setidaknya dalam kontek seni rupa kontemporer sekarang ini, objek gambar merupakan sebuah teks yang menawarkan begitu banyak pembacaan akan suatu makna yang terkandung dalam lukisan itu sendiri. Dengan memanfaatkan distingsi warna-warna yang kontras, nilai yang ditawarkan dari lukisan ini bukan melulu sebuah wacana yang terkadang asal tempel dalam karya, setidaknya didalamnya masih terbaca suatu pretensi estetik, konsep estetika yang “sederhana”, sesuatu yang kadang menjadi pilihan nomor kesekian atau bahkan terkesan diacuhkankan dalam kontek nilai estetis seni rupa kontemporer sekarang ini.
La art pour art
Hampir sebagian besar lukisan Hansen pada pameran bertajuk in the crowd yang berlangsung di H2 Art Gallery semarang, 30 Oktober sampai 11 September 2009 ini mempunyai motif dan model yang sama. Mengusung wacana-wacana sosial pada masyarakat pada sebuah era dimana ada anggapan bahwa karya-karya perupa kita cenderung “eksklusif”,berada dalam sebuah menara gading yang mewah, tentu saja bila dikaitkan pada keadaan sosial kita sekarang ini, yang kebanyakan memang mengangkat tema yang begitu asing pada telinga masyarakat kita. Dalam kali ini tentang alienasi yang mungkin bisa dikatakan sebagai penyakit yang terlalu modern merujuk pada pola sistem dan situasi sosial pada masyarakat kita, Alienasi pada sebuah negara dunia ketiga. Mungkin terdengar agak janggal di telinga kita, tentang sebuah “penyakit modern” yang belum seharusnya menjangkit pada masyarakat kita yang masih terlalu sibuk dengan tuntutan perut. Kemungkinan bahwa terdapat kesenjangan yang begitu lebar pada para perupa kita dengan mayoritas masyarakat kita dalam hal pola pikir dan penawaran wacana, sehingga terkadang anggapan “seni untuk seni” masih sulit untuk dilepaskan melihat masih begitu minimnya pengaruh dan implikasi dari suatu karya seni tersebut kepada masyarakat. Perihal pilihan para peseni rupa untuk berada dijalur tertentu memang sesuatu yang tak bisa disalahkan dan sepenuhnya menjadi hak mereka menimbang bahwa mereka tak menanggung beban moral untuk bertanggung jawab membawa perubahan dalam masyarakat. Tapi banyak dari suatu karya seni rupa yang banyak berakhir di galeri ataupun menjadi koleksi eksklusif para kolektor memang kadang menjadi urusan lain.
Dinamika keramaian
Lukisan-lukisan tersebut terkesan menampilkan sebuah alienasi, keterasingan individu-individu di dalam sebuah Crowd-keramaian manusia-manusia- dimana dalam keramaian itupun, keberadaan sesosok individu tentu saja merupakan unsur yang tak bisa dikesampingkan. Individu itu sendiri adalah sosok tunggal yang membentuk sebuah kerumunan, yang biasanya kemudian terkesan dikesampingkan ketika terlebur dalam suatu massa –keramaian-. lewat komposisi dari lukisan-lukisanya, penegasan perihal alienasi atau keterasingan tesebut agaknya terbaca dari barbagai teknik lukis yang terkomposisi dalam suatu kontras antara berbagai objek dalam lukisanya. Kontras warna antara sebuah kontur mozaik dengan foto realistik setidaknya merupakan pencerminan dari hal tersebut. Hal itu juga mungkin merupakan upaya hansen sebagai penegasan terhadap dimensi dan lapisan-lapisan ruang yang berbeda dengan penggunaan warna-warna yang tajam sebagai latar pada lukisan-lukisanya. Juga Pemilihanya pada anak sebagai figur pada banyak lukisanya memberikan warna yang lain, bila dikaitkan dengan tema alienasi pada karyanya, Bagaimana ketidaksadaran sosial tersebut bahkan tidak hanya didominasi orang dewasa saja, mungkin saja persepsi tersebut muncul dari subjektifitas hansen sendiri atas observasi pada kondisi sosial di sekitarnya, tapi membicarakan sebuah keterasingan pada dunia anak-anak adalah suatu hal yang baru dan mengejutkan. Terlepas dari hal diatas, upaya hansen untuk menciptakan sebuah dinamika keramaian dalam karyanya lewat figur-figur yang berdesak-desakan dalam sebidang kanvas terutama dengan berbagai tehnik lukis yang digunakanya akan tidak saja membangun suatu dinamika kerumunan secara verbal, tetapi akan mengarahkan persepsi kita pada suatu makna-makna simbolis yang memang menjadi nilai penting dalam karyanya. Dalam sebuah lukisan berjudul guru dan murid, tampak bagaimana hansen begitu inten dengan masalah modernitas ketika hal tersebut berbenturan dengan identitas budaya dan sosial pada masyarakat kita. Figur guru tersebut yang tercoret dalam fotografis lengkap dengan hiasan bunga di kepala membelah kanvas menjadi dua dunia yang berbeda. ketika tampak guru tersebut sedang mengajarkan anak-anak sebuah pola tari tradisi pada sebuah latar oranye yang mencolok mata, sementara pada bidang di sebelahnya segerombol anak kecil berpose dengan tiga jari khas ala rocker dengan background kuning muda. Pola-pola seperti itu juga muncul; dalam karyanya yang lain seperti relaks, fur alim, ikan besar dan fashion show. Sementara pada karyanya yang lain, dia tampak begitu akrab dengan tema keseharian dan kesederhaaan. Simaklah dari judul-judul semacam 17 08 09 yang memvisualisasikan lomba makan kerupuk seperti pada sebuah selebrasi hari kemerdekaan, atau lukisan berjudul bermain yang didalamnya tampak seorang anak kecil yang bermain di hadapan figure-figur mozaik dan lukisan-lukisan lainya seperti andai aku seorang superstar, berbaris, berbagi dan lukisan lain dengan konsep dan tema seperti itu. Akan tetapi yang perlu dicermati adalah konsep kesederhaan menurut Hansen tentu menawarkan sesuatu yang penuh komplektivitas merunut pada proses kreatifnya yang sering berpameran di luar negeri, beberapa publikasi internasional diantaranya di New York Art Magazine serta tercatat sebagai satu-satunya perupa dari Indonesia yang mendapat undangan dalam Venice Biennal bulain juni lalu yang katanya merupakann parameter estetis perupa dari seluruh penjuru dunia.
Walhasil masyarakat seni rupa semarang kembali menjadi penonton yang diragukan kesetianya ketika para perupa dari luar semarang unjuk gigi. Mungkin saja dengan seringnya semarang menjadi tempat berpameran perupa luar akhir-akhir ini dapat menjadi cambuk bagi perupa semarang untuk lebih dapat menunjukkan taringnya sehingga iklim berkeseni-rupaan di semarang menjadi lebih dinamis dan mengakar. Dan memang bila mengingat kota semarang memang tidak mempunyai akar yang kuat dalam budaya yang dari dulu memang dikenal sebagai kota dagang dan industri, maka tentu saja sangat tidak diharapkan bahwa dalam hal seni rupa pun semarang hanya menjadi transit perdagangan, begitu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar